Rukun Shalat
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,
وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ.
Rukun shalat ada delapan belas, yaitu:
Pertama: Berniat
Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut.
Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati.
Cara niat:
-
Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya.
-
Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah.
Kedua: Berdiri bagi yang mampu
Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal.
Catatan:
– Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna.
Ketiga: Takbiratul ihram
- Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat.
- Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya.
- Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya.
- Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan.
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima).
Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah
Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya.
Kelima: Rukuk
Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin.
Inkhinas adalah **membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.**Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas.
Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain.
Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat.
Keenam: Thumakninah ketika rukuk
Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk.
Ketujuh: Iktidal
Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud.
Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal.
Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah.
Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas).
Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal
Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH).
Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat
Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri.
Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490)
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278)
Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah.
Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis.
Yang disunnahkan:
- Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud
Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya.
Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185)
Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud
Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).
Kesebelas: Duduk di antara dua sujud
Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.
Kedua Belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud
Ketiga Belas: Duduk tasyahud akhir
Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.
Keempat Belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir
Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).
Kelima Belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir
Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.
Keenam Belas: Salam pertama
Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.
Ketujuh Belas: Niat keluar dari shalat
Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.
Kedelapan Belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan
Berurutan ini dikecualikan untuk:
-
takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan.
-
duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- https://rumaysho.com/37856-matan-taqrib-rincian-rukun-shalat.html
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
- Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.